Minggu, 22 Juli 2012



Jakarta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Amir Syamsuddin, mengaku Indonesia tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Papua Nugini (PNG), terkait pemulangan buronan Joko Tjandra. Akan tetapi Amir berharap permohonan pemulangan yang dikirimkan pihaknya dan Kejagung, bisa diuji di pengadilan.

"Ini kita harus lihat, bahwa mereka punya sistem hukum yang harus dihormati dan setiap negara mereka punya perangkat di mana suatu permohonan itu bisa diuji di pengadilan negara itu. Apakah itu dilakukan atau tidak? Tapi jelas ada mekanisme," tutur Amir di kompleks Kejagung, Jakarta Selatan, Minggu (22/7/2012).

Amir menyatakan kementerian yang dipimpinnya telah mengirim surat Mutual Legal Assistance (MLA) ke Papua Nugini. Melalui permintaan kerja sama itu, pemerintah Indonesia meminta Papua Nugini bekerja sama dalam memulangkan Joko Tjandra, bukan melalui mekanisme ekstradisi.

"Kami berikan MLA sama halnya Kejaksaan Agung, Menkum HAM juga mengirim," kata dia.

Meski begitu, Amir tidak memiliki kewenangan untuk menyelidiki apakah terpidana dua tahun penjara kasus cessie Bank Bali itu sudah menjadi warga negara Papua Nugini secara resmi atau belum. "Oh itu bukan kewenangan kami, itu policy dari pemerintahan yang berdaulat," kata dia.

Djoko Tjandra merupakan buron dalam kasus (hak tagih) cessie Bank Bali. Kasus ini bermula pada 11 Januari 1999 ketika disusun sebuah perjanjian pengalihan tagihaan piutang antara Bank Bali yang diwakili oleh Rudy Ramli dan Rusli Suryadi dengan Djoko Tjandra selaku Direktur Utama PT Persada Harum Lestari, mengenai tagihan utang Bank Bali terhadap Bank Tiara sebesar Rp38 miliar. Pembayaran utang kepada Bank Bali diputuskan dilakukan selambat-lambatnya pada tanggal 11 Juni 1999.

Selain soal tagihan utang Bank Bali terhadap Bank Tiara, disusun pula perjanjian pengalihan tagihan utang antara Bank Bali dengan Djoko Tjandra mengenai tagihan piutang Bank Bali terhadap Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) dan Bank Umum Nasional (BUN) sebesar lebih dari Rp 798 miliar. Pembayaran utang kepada Bank Bali diputuskan dilakukan selambat-lambatnya 3 bulan setelah perjanjian itu dibuat. Untuk perjanjian tagihan utang yang kedua ini, Joko Tjandra berperan selaku Direktur PT Era Giat Prima.

Djoko diduga meninggalkan Indonesia dengan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusumah di Jakarta ke Port Moresby pada 10 Juni 2009, hanya satu hari sebelum Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan keputusan atas perkaranya. MA menyatakan Djoko Tjandra bersalah dan harus membayar denda Rp 15 juta serta uangnya di Bank Bali sebesar Rp 54 miliar dirampas untuk negara.

0 komentar:

Posting Komentar